Was-was Beras Oplos, Cerita Lama yang tak Pernah Tuntas

Was-was Beras Oplos, Cerita Lama yang tak Pernah Tuntas

Indonesia adalah negara agraris, rumah bagi petani yang bekerja keras. Namun, justru di negara ini, beras menjadi produk yang paling sering dimanipulasi. Di balik nasi di meja makan jutaan rakyat Indonesia, tersimpan jaringan besar yang menyusun kepalsuan

Di sebuah warteg mungil bersekat triplek tak jauh dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, aroma tumis toge tahu, sambal goreng dan telor dadar menguar dari sebuah dapur. Seorang perempuan sebut saja Erika (38) baru saja selesai menanak nasi. 

Erika berkali-kali mencium kepulan asap yang keluar dari nasi yang baru saja matang. Sambil sesekali mencicipi, Erika lantas menangguk dan mulai menata nasi dengan beberapa lauk ke sebuah piring pesanan pelanggan.

Apa yang ditunjukan Erika ini bukan tanpa alasan. Erika mau memastikan tak lagi kena komplain gara-gara ada pelanggan yang menyebut nasinya kurang enak. “Saat dicuci, berasnya kayak ada ketombe, butiran plastik gitu,” kata Erika lirih, ketika dijumpai Inilah.com.

Kini, Erika lebih waspada tak mau lagi mendengar komplain dari pelanggannya. Ia tak ingin pelanggannya—yang kadang jaksa, hakim, bahkan pengacara sekelas Hotman Paris—mendapat sajian dari beras premium tapi palsu.

Kira-kira 9,6 kilometer dari warteg mungil Erika, tepatnya di bilangan Utan Kayu, Jakarta Timur sepasang suami istri yang menjual nasi goreng Padang juga tak mau kecolongan. HR (61) dan HN (55) sudah sejak lama menjaga kepercayaan pelanggannya—dengan memastikan beras yang digunakan bukan hasil rekayasa culas industri.

“Saya bilang ke penjual toko beras, sekarang ramai beras oplosan. Dia pun jamin beras asli, dia pun hati-hati beli beras di agen,” tutur HN, perempuan berkupluk rajut itu. “Saya juga bilang ke pelanggan nasi goreng saya, kualitas beras kami bagus agar mereka tidak was-was.”

HN pernah menyaksikan perbedaan mencolok antara beras asli dan oplosan. Warna, berat saat direndam air, hingga aroma. “Yang asli warnanya nggak terlalu putih. Kalau dicuci, beras oplosan suka mengapung. Asli tenggelam,” jelasnya.

Kabar beras oplosan membuatnya resah. Ia berharap pemerintah dan aparat bertindak tegas. “Merugikan rakyat. Harus diberantas sampai tuntas,” katanya penuh nada harap.

Apa yang dialami Erika dan pasangan suami-istri, HR dan HN bukan kejadian tunggal. Temuan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman tentang praktik pengoplosan beras yang menyeret lebih dari dua ratus produsen, mengusik banyak hati. 

Mentan Andi Amran Sulaiman saat meninjau harga bahan pokok di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur, Minggu (2/3/2025). (Foto: Humas Kementan)
Mentan Andi Amran Sulaiman saat meninjau harga bahan pokok di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur, Minggu (2/3/2025). (Foto: Humas Kementan)

Bagi pelaku usaha kecil seperti Erika serta HR dan HN, isu ini bukan sekadar sorotan di media massa. Ia adalah luka yang pernah nyata. Lebih dari itu, di balik nasi di meja makan jutaan rakyat Indonesia, tersimpan jaringan besar yang menyusun kepalsuan sistemik, mafia beras!. 

Hasil uji 13 laboratorium independen yang dilakukan Kementerian Pertanian ke 268 merek beras yang tersebar di 10 provinsi menunjukan hasil yang mengejutkan. Dari 136 merek beras premium yang diuji, sebanyak 85,56 persen tidak sesuai standar mutu, hanya 14,4 persen yang sesuai. 

Selain itu, 59,78 persen dijual di atas Harga Eceran Tertinggi (HET), dan 21,66 persen tidak sesuai berat kemasan atau berat riil di bawah yang tertera. Tak hanya beras oplosan, Kementan juga menemukan beras biasa (curah) yang dijual sebagai beras premium. Beras yang biasanya Rp 12.000-Rp 13.000 per kilogram dijual hingga Rp 15.000 per kilogram. 

Temuan ini tidak berdiri sendiri, melainkan ikut diperkuat oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Satgas Pangan yang turun ke lapangan. Dari 10 sampel yang diambil Kemendag, 9 diantaranya tidak sesuai, atau sekitar 90 persen, hampir serupa dengan hasil Kementan yang menemukan 86 persen ketidaksesuaian. 

“Kami sudah telpon Pak Kapolri dan Jaksa Agung. Hari ini juga kami serahkan seluruh data dan temuan lengkap. Negara tidak boleh kalah dengan mafia pangan,” kata Mentan Amran.

Menurut investigasi Satgas Pangan dan Kementerian Pertanian, ditemukan bahwa ada 212 merek beras yang terindikasi dioplos—beras medium dicampur sedikit beras premium, lalu dikemas ulang dengan merek dan harga tinggi. Bahkan lebih parah, kemasan 5 kg hanya berisi 4,5 kg.

Distribusinya? Tidak main-main. Masuk ke supermarket, minimarket, hingga pasar tradisional. Dari kota besar seperti Jakarta, hingga pelosok Kalimantan. “Ini kejahatan terorganisir. Sistematis dan berlangsung lama,” ujar Mentan.

Dari hasil penyidikan polri, diketahui 10 perusahaan yang diduga menjual beras premium oplosan. Berikut daftarnya:

1. Food Station Tjipinang Jaya Merek: Alfamidi Setra Pulen, Beras Premium Setra Ramos, Beras Pulen Wangi, Food Station, Ramos Premium, Setra Pulen, Setra Ramos. 

2. Wilmar Group Merek: Sania, Sofia, Fortune, Siip 

3. Belitang Panen Raya (BPR) Merek: Raja Platinum, Raja Ultima 

4. Sentosa Utama Lestari di bawah naungan Japfa Group Merek: Ayana 

5. PT Unifood Candi Indonesia Merek: Larisst, Leezaat 

6. PT Buyung Poetra Sembada Tbk Merek: Topi Koki 

7. PT Bintang Terang Lestari Abadi Merek: Elephas Maximus, Slyp Hummer 

8. PT Subur Jaya Indotama Merek: Dua Koki, Beras Subur Jaya 

9. CV Bumi Jaya Sejati Merek: Raja Udang, Kakak Adik 

10. PT Jaya Utama Santikah Merek: Pandan Wangi BMW Citra, Kepala Pandan Wangi, Medium Pandan Wangi

Bukan Temuan Baru

Sejatinya, kasus beras oplosan yang merugikan negara hingga Rp 100 triliun bukan sekadar kejahatan ekonomi biasa. Ini adalah bukti nyata betapa bobroknya tata niaga beras di Indonesia. Bukan baru terjadi kemarin. Ini sudah berlangsung lama, berjalan sistematis dan dibiarkan hidup karena menghidupi banyak kepentingan.

Medio Februari 2023, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso juga sempat mengungkap praktik serupa. Temuan ini terungkap saat melakukan inspeksi mendadak ke Gudang Beras milik PT Food Station Pasar Induk Cipinang Jakarta.

Dari dua gudang di tempat itu, ditemukan beras oplosan yang dikemas ulang dengan berbagai ukuran 50 kg dan 5 kg. “Padahal ini beras dari Bulog, tapi dikemas ulang dengan label premium,” ujar Buwas, sapaan akrab Budi Waseso, 4 Februari 2023.

0203_051600_3a12_inilah_com_scaled_710ec8bef7.jpg
Dirut Perum Bulog, Budi Waseso alias Buwas menunjukkan sampel beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Jumat (3/2/2023). (Foto: Inilah.com/Didik Setiawan).

Saat itu terungkap, oknum pedagang melakukan kecurangan dengan cara mengoplos beras dan mengemas ulang cadangan beras pemerintah (CBP). Tak berlangsung lama, Buwas bersama Polda Banten mengungkap enam merek beras premium yang kedapatan melakukan pengoplosan. Enam merek tersebut adalah, Dewi Sri, PS, Badak, Rojo Lele, SB dan PL. 

Berdasarkan penjelasaan ketika itu, ada enam modus yang kemudian dilakukan para tersangka ini. Pertama, melakukan pengoplosan beras Bulog dan beras lokal. Kedua, pengemasan ulang beras Bulog menjadi beras premium. Ketiga, menjual beras di atas harga HET. 

Keempat, memanipulasi data pengiriman dari distributor maupun mitra Bulog. Kelima, masuk ke tempat penggilingan padi seolah-olah merek sendiri. Keenam, memonopoli sistem dagang.

Lebih mundur lagi, pada 2016 silam, mengutip laman resmi Kementerian Pertanian RI, Bareskrim Polri pernah menangkap lima pelaku pengoplosan beras di Jakarta Timur. Salah satu dari lima tersangka kala itu melibatkan Kepala Bulog Divisi Regional DKI Jakarta-Banten, Agus Dwi Irianto.

Akar Masalah tak Pernah Tuntas

Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras Indonesia (Perpadi) Sutarto Alimoeso ketika berbincang dengan Inilah.com, tak menampik kalau salah satu penyebab tak tuntasnya kasus beras oplosan adalah persaingan usaha yang tidak sehat, termasuk di tingkat penggilingan.

Saat ini banyak pengusaha penggilingan, utamanya perusahaan besar berlomba-lomba membeli gabah dari petani. Untuk bisa ‘memenangkan perlombaan’ tersebut, sejumlah pengusaha penggilingan berani membeli gabah dengan harga tinggi.

Sebab dengan penawaran harga yang lebih tinggi, peluang untuk mendapatkan gabah dari petani menjadi semakin besar. Karena pada akhirnya para petani akan menjual gabah mereka kepada penggilingan yang bisa memberikan keuntungan lebih.

Sayang, karena gabah-gabah ini dibeli dengan harga tinggi, untuk mendapatkan keuntungan lebih sejumlah oknum malah melakukan kecurangan dengan mengoplos beras medium dan menjualnya sebagai beras premium.

soetarto.jpg
Ketua Umum Perkumpulan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi), Sutarto Alimoeso. (Foto: Antara).

“Modusnya mengarah ke sana menurunkan kualitas dia bisa saja, sehingga di lapangan itu melakukan pembelian gabah yang seyogyanya tidak semahal itu ya kan,” kata Alimoeso kepada Inilah.com.

Tata niaga beras sendiri sebenarnya sudah mengatur. Badan Pangan Nasional, dalam siaran persnya, menyebut, kelas mutu beras premium diatur Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 2 Tahun 2023.

Merujuk itu, untuk beras premium harus memiliki kualitas. Hal itu seperti butir patah maksimal 15 persen, kadar air maksimal 14 persen, dan derajat sosoh minimal 95 persen.

Selain itu, butir menir maksimal 0,5 persen, total butir beras lainnya (butir rusak, butir kapur, butir merah atau hitam) maksimal 1 persen hingga butir gabah dan benda lain harus nihil.

Adapun Standar Nasional Indonesia (SNI) 6128:2020 beras premium nonorganik dan organik harus mempunyai komponen mutu. Itu adalah butir patah maksimal 14,5 persen, butir kepala minimal 85 persen, butir menir maksimal 0,5 persen, dan butir merah/putih/hitam maksimal 0,5 persen.

Selain itu, ada butir rusak maksimal 0,5 persen, butir kapur maksimal 0,5 persen, benda asing maksimal 0,01 persen, dan butir gabah maksimal 1 per 100 gram. 

Menjadi melanggar apabila beras premium ternyata memiliki kadar lebih dari 15 persen yang rusak.

Praktik semacam ini tentu tidak hanya merugikan konsumen karena mendapatkan produk yang tidak sesuai dengan mutu yang dijanjikan. Namun hal ini juga merugikan pengusaha penggilingan lainnya, terutama mereka para pengusaha kecil karena tidak sanggup bersaing secara modal.

Berdasarkan catatan redaksi, pernyataan Alimoeso sejurus dengan apa yang pernah ditemukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada 13 September 2023. Ketika itu, KPPU sempat mengeluarkan dugaan PT Wilmar Padi Indonesia terlibat dalam monopoli harga gabah petani.

Dugaan monopoli tersebut, berdampak pada penutupan penggilingan padi. Penutupan terjadi karena mereka tidak mendapatkan pasokan gabah dari petani. Namun demikian saat itu, PT Wilmar membantahnya.

“Yang dirugikan itu bukan hanya konsumen. Apakah pengilingan padi yang lain juga Kena imbas? Kena. Seolah-olah semua adalah penggilingan padi jelek kan bisa saja publik menangkapnya seperti itu,” kata dia.

Namun demikian, praktik ini bukan satu-satunya biang kerok, sebab beberapa kalangan juga menilai akibat dari lemahnya pengawasan pemerintah. Tidak ada sistem distribusi pangan nasional yang transparan dan akuntabel, serta politik pangan yang lebih sibuk urusan pencitraan, tapi tak menyentuh akar masalah. 

Selama ini kita seakan diberi ilusi: pemerintah hadir, cadangan beras aman, harga terkendali. Padahal di balik itu, rantai distribusi beras dipenuhi mafia, kartel, dan para pemburu rente. Petani dapat harga murah. Rakyat beli harga mahal. Di tengahnya, ada segelintir orang yang memainkan stok, memanipulasi kualitas, mengatur harga, bahkan memanfaatkan program negara demi keuntungan pribadi.

“Mafia ini leluasa bekerja, karena negara tidak hadir sepenuhnya memberantas mereka hingga ke akarnya,” ujar Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS Nasir Djamil kepada Inilah.com.

Dalam banyak kasus, aparat sulit membongkar jaringannya karena sindikat ini memiliki hubungan kuasa yang kuat. Beberapa dugaan menyebut ada keterlibatan politisi lokal atau pejabat di daerah sentra produksi. 

“Lemahnya penegakan hukum terhadap mafia pengoplos ini, membuat mereka merasa tidak tersentuh hukum,” kata Nasir Djamil.

(Nebby/Rizki/Reyhaanah/Diana).

Komentar