Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar. (Foto: Dok. Antara/Dokumentasi Pribadi)
Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Inilah.com
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Ficar Hadjar, menyoroti proses pemeriksaan terhadap Wilmar Group dalam kasus dugaan pengoplosan beras yang tengah ditangani oleh pihak kepolisian.
Menurut Ficar, kepolisian harus menemukan bukti yang cukup untuk menindaklanjuti dugaan keterlibatan Wilmar. Jika ditemukan bukti kuat, maka perusahaan tersebut dapat diproses secara hukum hingga penetapan tersangka dan penuntutan di pengadilan.
“Ya, dalam konteks penanganan kasus pun harus diperiksa apakah ada agenda lain atau tidak, sepanjang tidak ada indikasi melawan hukum. Tetapi jika ada bukti indikasi melawan hukumnya, ya tetap harus dituntut,” kata Ficar saat dihubungi Inilah.com di Jakarta, Jumat (11/10/2025).
Ficar menjelaskan, saat ini Wilmar belum dapat dikenai sanksi pencabutan izin usaha melalui pengadilan. Hal ini lantaran kasus sebelumnya, yakni terkait fasilitas ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya, masih berproses di tingkat kasasi di Mahkamah Agung dan belum berkekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, jika Wilmar dituntut dalam kasus beras oplosan, sanksi tambahan berupa pencabutan izin belum bisa dijatuhkan.
Namun demikian, menurut Ficar, keterlibatan Wilmar dalam dua kasus tersebut menjadi sorotan serius di mata publik dan mencoreng citra perusahaan.
“Ya, sepanjang belum ada putusan pengadilan dalam kasus pertama, secara yuridis belum bisa menjadi faktor yang memberatkan. Tetapi secara sosiologis, ini merupakan catatan hitam bagi eksistensinya di dunia usaha,” ujarnya.
Ficar juga menambahkan pencabutan izin usaha bisa ditempuh melalui jalur lain, yakni melalui mekanisme Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Jika terbukti melanggar Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, KPPU dapat merekomendasikan pencabutan izin kepada instansi terkait.
“Ya, selain melalui proses hukum pidana dan perdata, juga bisa ditempuh melalui proses Undang-Undang Persaingan Usaha Tidak Sehat melalui mekanisme di KPPU, dengan putusannya dapat mencabut perizinan usahanya jika terbukti tindakannya ekstrem dan membahayakan dunia usaha,” tegasnya.
Sebelumnya, Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri memeriksa empat produsen atas dugaan pelanggaran mutu dan takaran dalam distribusi beras. Langkah ini diambil usai Menteri Pertanian Amran membongkar praktik kecurangan tersebut.
“Betul, masih dalam proses pemeriksaan,” kata Dirtipideksus Bareskrim Polri, Brigjen Helfi Assegaf, kepada wartawan di Jakarta, Kamis (10/7/2025).
Brigjen Helfi menyebut empat produsen yang diperiksa adalah WG, FSTJ, BPR, dan SUL/JG, tanpa merinci materi pemeriksaan. Berdasarkan informasi yang dihimpun, WG merujuk pada Wilmar Group, FSTJ adalah Food Station Tjipinang Jaya, BPR adalah Belitang Panen Raya, dan SUL/JG merupakan Sentosa Utama Lestari (Japfa Group). Pemeriksaan ini turut didasari informasi dari Menteri Amran.
Wilmar Group diperiksa terkait produk Sania, Sovia, dan Fortune. Sampel diambil dari berbagai daerah, seperti Aceh, Lampung, Sulawesi Selatan, Yogyakarta, dan Jabodetabek.
PT Food Station Tjipinang Jaya (FSTJ) diperiksa terkait merek Alfamidi Setra Pulen, Beras Premium Setra Ramos, Beras Pulen Wangi, Food Station, Ramos Premium, Setra Pulen, dan Setra Ramos. Sampel dikumpulkan dari Aceh, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Jawa Barat.
PT Belitang Panen Raya (BPR) diperiksa terkait produk Raja Platinum dan Raja Ultima, setelah pengambilan sampel dari Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Jawa Barat, Aceh, dan Jabodetabek.
Sementara PT Sentosa Utama Lestari/Japfa Group (SUL/JG) diperiksa setelah penyidik mengambil tiga sampel dari Yogyakarta dan Jabodetabek.
Hingga berita ini dipublikasikan, belum ada pernyataan resmi dari pihak Wilmar terkait isu ini. Upaya konfirmasi yang dilakukan Inilah.com kepada Asisten Manager Public Relations PT Wilmar Nabati Indonesia, Alina Musta’idah, yang belum mendapatkan respons.
Sebelumnya, Menteri Pertanian Amran telah melaporkan 212 produsen beras yang diduga melakukan praktik pengoplosan kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Jaksa Agung. Laporan ini merupakan hasil investigasi terhadap 268 merek beras bersama sejumlah pemangku kepentingan.
“Temuan ini telah dilaporkan secara resmi ke Kapolri dan Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti,” kata Amran di Jakarta, Jumat (27/6/2025).
Dari hasil pemeriksaan 13 laboratorium di 10 provinsi, ditemukan 85,56 persen beras premium tidak sesuai mutu, 59,78 persen dijual di atas harga eceran tertinggi (HET), dan 21 persen tidak sesuai berat kemasan.
“Ini sangat merugikan masyarakat,” tegas Amran.
Ia menambahkan, anomali harga beras saat ini terjadi ketika produksi nasional justru meningkat. Data FAO menunjukkan produksi beras Indonesia diperkirakan mencapai 35,6 juta ton pada 2025/2026, melampaui target nasional sebesar 32 juta ton.
Amran memperkirakan potensi kerugian konsumen akibat praktik curang ini mencapai Rp99 triliun. “Kalau dulu harga naik karena stok sedikit, sekarang tidak ada alasan. Produksi tinggi, stok melimpah, tapi harga tetap tinggi. Ini indikasi adanya penyimpangan,” ujarnya.